Kamis, 30 Juni 2011

Cerpen


Keceriaan di Ujung Jalan

Kurebahkan seluruh badanku untuk menghilangkan penat yang bersarang di setiap sendi-sendi tulangku. Senyum tetap terkulum di bibirku dengan bayangan kesuksesan atas masalah yang berhasil kutangani siang tadi. Sesaat aku teringat ada seberkas kasus yang harus segera aku tangani. Aku bangun,mencoba mencari berkas yang kumaksud di rak buku.

Praakk… sebuah album foto kusam jatuh ke lantai. Aku membuka lembar demi lembar album foto itu, kutemukan sebuah foto usang dengan senyum mengembang di bibir mungilnya. Tanpa terasa air mata merembes di pipiku. Sesaat aku teringat peristiwa beberapa tahun lalu.

***
Suara riang dua orang gadis terdengar di salah satu kamar sebuah asrama putri. Malam itu adalah malam yang sangat menyenangkan bagiku. Sebab esok adalah hari pertamaku mulai kerja di lapangan. Begitu pun dengan sahabatku yang tinggal di samping kamarku. Dengan berkumpul di salah satu kamar, kami saling bertukar cerita dan pengalaman serta membayangkan pengalaman apa yang balakl kita peroleh besok.
Aku seorang gadis berusia 19 tahun. Cukup tua juga. Aku memiliki tinggi badan 165 cm. karena postur tubuhku yang mendukung, aku mendaftar sebagai polisi wanita di salah satu kota di daerah Surabaya. Setelah selesai masa pendidikanku, aku ditugaskan di salah satu kota yang masih sedikit asing untukku, Kendari. Dari sinilah awal aku mengenal sahabatku yang berprofesi sebagai suster di salah satu rumah sakit di Kota Kendari. Keceriaan dan kebersamaan selalu mewarnai hari-hari kami. Karena tugas dan tanggung jawab, aku harus pergi ke salah satu kecamatan yang ada di Kota Kendari, yaitu Konawe Selatan, tepatnya di desa Lapoa Indah untuk menyelidiki kasus keracunan yang hampir menimpa sebagian masyarakat penduduk desa tersebut.
SMS kabar dan berita selalu kulakukan dengan sahabatku. Perjalanan apa yang kualami serta kerinduan dan kesejukan udara pedesaan selalu kuceritakan padanya. Begitu pun dengannya yang selalu menceritakan pengalamannya merawat berbagai macam pasien yang tak pernah lepas dari pendengaranku.
Seperti malam ini. Dengan senyum puas mengembang dan perasaan puas kuceritakan keberhasilan menangani penyebab keracunan di desa Lapoa Indah. Untuk itu, aku pun merencanakan akan pulang besok pagi ke Kendari. Sahabatku sangat bahagia mendengar encanaku akan segera kembali melalui telepon selulerku.
Semua barang-barang telah kurapikan dan aku siap untuk berangkat ke kota. Sengaja aku duduk di mobil dekat jendela agar aku dapat  menikmati indahnya nuansa pedesaan, hamparan padi yang luas sera rimbunnya pepohonan di gunung Wolasi dan Ambari. Tak luput pula kubayangkan keceriaan sahabatku serta renacan bertukar cerita dan pengalaman yang nanti malam akan kami lakukan.
Jam 10.30 aku tiba di asramaku. Cepat-cepat aku ambil barang-barang dan bergegas menuju ke kamar untuk melepas lelah. Karena aku yakin bahwa sahabatku pasti belum pulang dari bertugas  di rumah sakit. Dari halaman kudengar suara-suara gaduh di dalam asrama, tetapi aku berfikir bahwa itu adalah hal biasa, tak ada bayangan menyeramkan yang hadir di pikiranku.
Jantungku mulai berdetak cepat saat aku mendengar salah seorang menyebut namaku “Itu Wati datang!” dan aku melihat kerumunan orang berkumpul di depan kamar Rini, sahabatku. Aku berusaha berlari dengan berbagai pertanyaan yang hinggap di kepalaku.
Aku menerobos kerumunan orang yang berada di depan kamar dengan detak jantung yang semakin tidak berarturan, aku melihat beberapa orang polisi berada di dalam kamar Rini.
Praaakk….!!! Jatuh semua tarang yang ada dalam genggamanku. Seluruh sendi-sendi tulangku rasanya terpisah satu per satu. Aku melihat mayat tergeletak di atas ranjang yang telah ditutup oleh kain putih. Aku dipapah oleh seorang komandan kepolisian. Aku dengar samar-samar darinya.
“Sabar Wati, Rini gantung diri. Entah apa motifnya kami belum tahu. Tetapi ada saksi mata yang melihat tadi pagi ada 3 orang laki-laki yang datang kemari. Setelah ketiga laki-laki itu pergi ia segera mendatangi kamar Rini. Berkali-kali orang itu mengetuk pintu, tak ada jawaban dari Rini. Lalu ia memanggil anak-anak asrama untuk mendobrak pintu Rini. Setelah pintu berhasil didobrak, mereka mendapati Rini sudah tak bernyawa tergantung di depan kamar mandi.”

Bibirku beku, rasanya darah mendidih dalam tubuhku. Jasad Rini dibawa ke RS untuk dilakukan visum. Dari hasil visum, ditemukan ada beberapa luka memar dalam tubuh Rini dan ada beberapa bagian baju Rini yang koyak. Aku yakin, Rini bukan mati gantung diri. Aku berjanji pada diriku sendiri dan akan membuktikan kalau Rini bukan mati gantung diri.

***
Aku bersimpuh di samping pusara, kutaburkan bunga melati kesukaan Rani. “Ran, apa kabar? Ran, tau ngga, hampir lengkap berkas-berkas kukumpulkan  untuk membuktikan bahwa engkau bukan mati karena gantung diri. Ini semua berkat dukungan keluargamu dan orang-orang yang sayang padamu. Kamu sabar dulu ya, Ran, aku berjanji akan segera menuntaskan masalah ini, agar engkau lebih tenang di alam sana. Aku juga berjanji untuk selalu menjengukmu.
Dengan langkah gontai aku melangkah meninggalkan pusara Rini. Sampai saat ini,  aku belum bisa menghapus peluh di pipiku saat aku ziarah ke pusaramu. Rin, senyummu akan selalu melekat di ingatanku.

Cerita Cinta
Selasa, 22 Juni 2010


Aku melangkahkan kaki pelan sembari mengintar taman Kendari Beach Kota Kendari sembari melepas penat yang menggelayu di pikiranku. Banyaknya tugas-tugas kantor membuatku pening dan ingin keluar rumah menghirup udara sore yang segar dengan keceriaan orang-orang yang ada di sekelilingku.
Riri…! Aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku memalingkan wajah ke kiri, ke kanan beruasha mencari asal sumber suara orang yang memanggilku.
Hei…! Bingung amat. Atau sudah lupami kah…? Cerocos Widi tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab. Kapan datang? Napa gak bilang-bilang sih! Kan biar aku bisa nitip oleh-oleh gitu.
Widi adalah teman sekelasku waktu SMA. Dia orangnya riang, suka bercanda dan ceplas-ceplos kalau ngomong. Belum pernah aku melihatnya sedih atau marah, yang ada adalah dia selalu membuat orang yang di sampingnya tertawa karena sifatnya yang humoris. “Wid, sorry ya saya gak bisa datang itu hari acara pertunanganmu… tetapi saya jnji nanti kalau kami merid aku pasti datang”. Ucapanku spontan, aku menyadari tidak bisa datang di acara pertunangannya empat bulan yang lalu. Bukannya menjawab permintaan maafku, Widi malah tertawa terbahak-bahak. Namun beberapa menit kemudian awan mendung menggalyut di sudut matanya. Aku bingung tak mengerti melihat ekspresi wajah Widi yang tiba-tiba berubah.
Cerita yang terlihat hidup ini tanpa beban itulah Widi. Namun di balik keceriaan dan humorisnya dia adalah anak yang berfikir dewasa. Tidak jarang-jarang teman-teman curhat padanya ketika punya masalah untuk meminta solusi. Begitu pun denganku.
“Ri, ada sa mo cerita. Tapi jangan ko bilang-bilang sama teman-teman yang lain nha”, bisiknya di telingaku. “Ri, kemarin saya ke butik, baru ko tau Ri, saya ketemu cowo ganteng sekali. Eh, ternyata itu cowo yang punya butik. Untung ada tetangga rumah kerja di butik itu, langsung deh tadi malam saya datang ke rumahnya. Setelah basa-basi sedikit tentang kerjaannya kemudian minta deh nomor bosnya. “Emang kamu ga malu Wid?” tanyaku keheranan melihat keagresifan Widi. “Sebenarnya aku malu banget sih… tapi mau diapa.”
“Terserah deh, yang jelas kamu harus hati-hati. Ingat Wid, kita baru semester satu.” “Iya, iya,” jawabnya singkat.
Hubungan antara Widi dan cowo pemilik butik pun berlanjut dan kini mereka pun sudah resmi jadian. Sesekali aku diajak Widi untuk menemaninya keluar. Saat pertama aku bertemu dengan sosok pemilik butik yang sekarang jadi pacar Widi aku jadi kaget. Kalau dilihat-lihat, jeda umur cowok Widi jauh banget ada sekitar 15 tahun. Tetapi jika dilihat dari stailnya, memang sih masih cowo banget, hanya terlihat cowo yang sudah dewasa dan memiliki pikiran yang matang tentang masa depan.
Semester 5 telah berhasil kita lalui dan kini kita lagi menginjak semester 6. Hubungan Widi pun tetap langgeng, bahkan kini menginjak tahap serius. Hari-hari  terus kita lalui bersama dengan tugas-tugas mata kuliah, tetapi sesekali kami bersama-sama keluar untuk menghirup udara segar guna menghilangkan penat dan merefresing otak dari tuhas-tugas mata kuliah.
Tanpa terasa kini sudah semester tujuh. Siang itu setelah pembekalan KKP Widi menghampiriku.
“Ri, malam senin nanti aku mau dilamar sama Ka’ Aris”.
Spontan aku berteriak, “Wah, selamat ya Wid…”
“Hussst, dengar dulu sa bicarapi. Rencananya saya mau ajak ko pulang di kampungku hari Sabtu, kan hari Sabtu gak ada mata kuliahnya kita thu… gimana ???”
“Aduh… gimana dong Wid, hari minggukan aku harus berangkat KKP di daerah Konsel. Kamu tau sendiri kan aku ditempatkan KKP di mana.”


****
 “Dan kau tahu apa yang terjadi di hari pertunanganku, Ri…” sela Widi di tengah ceritanya.
“Pertunanganku hancur berantakan.”
“Terus, kenapa setelah itu kamu hak pernah lagi muncul di kampus?” selaku.
“Aku dipindahkan kuliah di Makassar, supaya aku bisa lupa dengan Ka Aris papa aku.”
“Maksudmu…???” aku tersentak dengan pernyataan Widi yang menyebutkan Ka Aris papa aku.
“Awalnya aku juga ngga percaya dan aku bingung dengan apa yang aku alami. Tetapi kenyataannya memang Ka Aris itu papa aku.”
Aku hanya bengong mendengar apa yang Widi ucapkan. Widi tak peduli dengan kebingunganku, dia terus melanjutkan kisahnya.
“Mama dan papa yang selama ini aku anggap sebagai ayah dan ibu kandungku ternyata bukan. Mereka sebenarnya om dan tante aku. Kelas 1 SMP mamaku sudah mengenal yang namanya pacaran. Mama pacaran  dengan papa yang sekarang kukenal dengan ka Aris. Kenaikan kelas dua SMP keluarga papa aku pindah rumah dan tidak diketahui tempat kepindahannya. Tetapi tanpa sepengetahuan siapapun ternyata mama hamil. Kehamilan mama diketahui setelah usia kandungannya berusia tiga bulan. Karena kakek dan nenek malu bila diketahui oleh tetangganya, maka mama disimpan di rumah deng buyutku di Poleang, dengan dalih mama dipindahsekolahkan. Entah apa yang terjadi dengan mama waktu itu, aku nggak bisa mengungkapkannya. Mama hamil tanpa suami dan diasingkan oleh keluarga.
Tibalah saatnya usia kandungan mama sudah sembilan bulan. Ketika mau bersalin, mama sempat memberikan amplop yang berisi surat dan foto laki-laki yang menyatakan bahwa itu ayah kandungku. Dan itulah pesan terakhir mama. Mama tidak selamat dalam persalinan itu. Aku pun dirawat oleh om dan tante yang kebetulan tidak memiliki keturunan dan yang selama ini aku ketahui sebagai mama dan papa kandungku.”
“Kamu pasti bingung ya, Ri… darimana mereka bisa tahu kalau ka Aris itu papa kandung aku??”
Aku  mengangguk pelan.
“Mereka tahu dari album foto yang kubawa pulang waktu itu. Di situ ada koleksi foto ka Aris, papa kandungku dari ketika ia masih SD. Jujur, aku senang melihat koleksi foto-fotonya, seperti aku sudah dekat sekali sama dia. Mungkin itulah ikatan batin antara ayah dan anaknya. Dan di dalam album foto itu tersimpan foto mama dan papa lagi duduk berdua di depan kelas ketika SMP. Mama dan papa sengaja mengimpan buku rahasia itu. Mereka ingin membuktikan dugaannya ketika ka Aris datang. Ternyata dugaan mereka benar. Setelah semua itu terbongkar, aku gak ingat apa-apa lagi. Setelah aku sadarkan diri mama sudah menangis di sampingku dan papa Aris sudah tidak ada di situ.”

****
Satu minggu setelah peristiwa itu aku dipindahkan kuliah seperti yang telah kuceritakan tadi.
Sampai saat ini aku belum pernah lagi bertemu sama papa Aris. Terakhir kudengar katanya dia mengalami gangguan kejiwaan dan sekarang diobati atau diterapikan di luar daerah. Aku gak tahu isu itu benar atau tidak, yang jelas aku tetap mendoakan yang terbaik buat papa Aris, papa kandung aku.
“Oh ya Ri, tiga bulan lagi aku mau menikah dengan teman satu angkatanku, meskipun beda fakultas. Sebenarnya aku ingin papa kandungku juga datang, tetapi kalo ngga bisa bisa ya… mau diapa. Toh selama ini yang kukenal sebagai papa dan mama kandung aku kan yang sebenarnya om dan tanteku juga. Jangan lupa, Ri… datang nach…”
Pertemuan singkat namun sangat ngilu di hatiku. Betapa besarnya kuasa Tuhan dalam menunjukkan jalan bagi umatnya. Makasi ya Allah atas apa yang engkau berikan padaku. Bimbinglah aku agar senantiasa berada di jalanmu. Amin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar